Jumat, 11 Juli 2014

Mentariku




Hari ini kubesar-besarkan. Ku agung-agungkan namamu. Takkan kubiarkan pergi begitu saja, keagungan itu. Dalam semarak hiruk-pikuk pantun-pantun dan berjuta-juta puisi pada sang rembulan yang mereka tulis dalam setiap lembar kertas warna-warni. Kini, ku hanya menulis tentangmu, mentariku...

Sungguh sebenarnya apa yang akan kutulis jikalau bukan tentangmu. Sementara sinarmu selalu mengisi bahtera kehidupanku. Ku tak dapat menentang itu. Hanya tentangmu yang mengisi hari-hariku...

Ya! Ku telah kehilangan rembulanku. Bahkan kini, sang mentari mulai menggantikan peran sang rembulan. Sungguh tamak nya hidup ini. Begitu orang berkata. Namun, ini sungguh beda. Sang mentari bahkan mulai kewalahan dengan perannya. Tapi ia tak mampu meninggalkannya. Sungguh kasihan...

Wahai mentariku...bersabarlah! kini ku sajikan sebuah tulisan tentangmu. Tentang isi hatiku untuk menghiburmu. Tentang sejuta kenangan-kenangan yang terukir dalam bayangan dan mimpi-mimpi dalam indahnya angan-angan.

Wahai sang mentari, sungguh bagaimana caraku mengungkapkan semua ini. begitu banyak yang harus kutulis. Namun, tak satupun dapat kurangkai dengan baik. Bahkan untuk berkata ini pun, kugunakan beberapa kalimat yang terpatah-patah yang mungkin kau juga kan tak dapat memahaminya. Tapi begitulah diriku dan kau tau itu.

Mentariku...
Terima kasih akan kasih sayang tulus yang selalu kau suguhkkan padaku. Terima kasih telah melayaniku bak seorang yang agung. Pelayananmu padaku tanpa mengenal rasa kesal. Tanpa keluh kesah. Seperti seorang hamba yang begitu setia melayani majikannya. Tapi aku bukan majikanmu. Aku pun juga tak membayarmu. Dan kau tetap setia. Aku pun merasa bak seorang putri raja. Mungkin kaulah raja itu.

Sungguh tak dapat kubendung air mataku. Mengingat semua pengorbananmu. Bahkan seseorang sepertiku ini mulanya tak memahami bagaimana kehidupan itu. Kini, ku dapat paham karenamu. Jikalau kuingat, begitu sadisnya hidup ini. penuh dengan gejolak kebinasaan hati yang menuntun emosi dan amarah serta dengki semakin jaya di depan. Menyelimuti seluruh warna putih. Dan tinggallah hitam. 

Tapi kau mengajari bagaimana melaluinya. Bagaimana menghadapinya. Bagaimana menangkisnya. Hingga warna hitam kelam itu semakin pudar dan kembali tampak titik-titik cahaya. Sabar! Begitulah ajaranmu. Namun terkadang, hanya sebuah ikatan kata sabar saja tak mampu membuatku berdiri tegak. Kaki ini begitu lemah untuk menampung segala duka. Sampai ku hanya dapat jalan meronta. Dan kau sang mentari...menarik lenganku. Memegang pundakku dan membantuku untuk bangkit. Selalu begitu.

Namun apalah dayaku. Terkadang pikiranku berhasil mengolah kata ceroboh. Tak memperhatikan segala ucapanmu. Tak menghiraukan bagaimana dirimu. Betapa egoisnya aku! hingga saat ku jauh darimu. Ku tetap hidup darimu. Tapi ku lupa...lupa akan sang mentari yang begitu setia disampingku selama ini.

Bagaimana diriku ini. Bahkan hal kecilpun telah terabaikan begitu saja. Sungguh kucoba untuk menyempurnakan diri. Namun, diri ini tetap jauh dari kata sempurna. Wahai mentariku, dunia ini melelahkan. Ijinkanlah aku tuk tetap tidur dalam pangkuanmu. Dalam sinar dan kehangatanmu.

Maafkan aku...
Maafkanlah diri yang berlumur dengan lumpur dunia ini...
Maafkan diri ini yang penuh dengan muslihat. Dunia ini menghujam begitu kerasnya. Bagaimana aku membangun dinding-dinding bentengku jika ku tak punya keberanian. Wahai mentariku, maaf...jikalau ada sepetik ataupun serangkaian kata-kata yang menyayat hatimu. Ku tak bermaksud untuk itu. 

Katakan, wahai mentari...
Katakanlah, sejuta duka di hatimu yang masih terbayang. Ijinkan diriku ini mengenalnya sedikit lebih jauh. Agar ku dapat merasakan betapa pedihnya. Beban pikiran apa yang memberatkan hatimu. Cobalah katakan, apa yang kau ingin aku tuk lakukan. Jangan kau terlalu sibuk menyinariku. Aku ini akan selalu memegang teguh ajaranmu. Sampaikan hasratmu. Agar ku dapat menyenangkan hatimu. 

Sinarmu selalu menjadi penerang jalanku. Jangan kau gelapkan aku dengan kesedihanmu. Jangan kau gelapkan aku dengan air matamu. Ku tak tau bagaimana cara ku tuk memetik buah berduri. Janganlah bersedih wahai mentariku. Hatiku perih layak tertusuk jarum kecil nan tajam. Mengingat peranmu ganda. Tak ada teman tuk bersua. Lalu bagaimana? Aku tak mampu menegakkan kembali tiang sampan yang timbul tenggelam di lautan. Ijinkan aku beradu pikiran denganmu. Agar ku mengerti bagaimana seharusnya aku.

Cukuplah tugasmu untuk tetap bersinar. Aku butuh senyuman darimu. Sebuah senyuman darimu, akan mengisi seribu kekosongan jiwaku. Dengan begitu aku akan bangkit dengan sendirinya. Mencoba untuk tetap tegak sebesar apapun angin menerpa. Membalas senyumanmu lebar-lebar. Dengan ketulusan. Dengan kasih sayang yang kau selalu berikan padaku. Hingga suatu nanti, kutemukan cahaya lain. Sebuah sinar yang masih sangat terang. Mungkin dapat menandingi sinarmu. Ku kan mengarah padanya dengan akhlakku. Sesuai ajaranmu. Hidupku kan semakin terang. Karna ku punya dua sinar. Sinarmu dan sinarnya. Dan sinar itu kan megubahku menjadi rembulan baru. 

Sinar itu nanti pastinya adalah pilihanmu. Tentangnya, aku tak begitu banyak bicara. Karna ku tau, kau pasti mengerti bagaimana seharusnya dia. Aku hanya ingin satu sinar baru yang benar-benar membuatmu bahagia. Hanya itu. Biar nanti kulukis sendiri pelangi cinta hari-hariku. Berbalut kasih sayangku padamu. Kan ku tulis beribu-ribu bahkan bermilyar-milyar cerita tentang kita. Namun, perjuanganku tuk buatmu bahagia tak berhenti sampai disini, wahai mentariku. Aku kan terus dan terus didepan. Bergantian memberimu sinar seterang mungkin. Burung camar saja tak pernah bosan tuk berterbangan mengitari luasnya lautan. Ku juga takkan pernah bosan untuk itu. 

Aku mencintaimu, mentariku...

Sabtu, 28 Juni 2014 selesai ditulis pukul 20.16 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar