Hari ini kubesar-besarkan. Ku agung-agungkan namamu.
Takkan kubiarkan pergi begitu saja, keagungan itu. Dalam semarak hiruk-pikuk
pantun-pantun dan berjuta-juta puisi pada sang rembulan yang mereka tulis dalam
setiap lembar kertas warna-warni. Kini, ku hanya menulis tentangmu,
mentariku...
Sungguh sebenarnya apa yang akan kutulis jikalau bukan
tentangmu. Sementara sinarmu selalu mengisi bahtera kehidupanku. Ku tak dapat
menentang itu. Hanya tentangmu yang mengisi hari-hariku...
Ya! Ku telah kehilangan rembulanku. Bahkan kini, sang
mentari mulai menggantikan peran sang rembulan. Sungguh tamak nya hidup ini.
Begitu orang berkata. Namun, ini sungguh beda. Sang mentari bahkan mulai
kewalahan dengan perannya. Tapi ia tak mampu meninggalkannya. Sungguh
kasihan...
Wahai mentariku...bersabarlah! kini ku sajikan sebuah
tulisan tentangmu. Tentang isi hatiku untuk menghiburmu. Tentang sejuta
kenangan-kenangan yang terukir dalam bayangan dan mimpi-mimpi dalam indahnya
angan-angan.
Wahai sang mentari, sungguh bagaimana caraku
mengungkapkan semua ini. begitu banyak yang harus kutulis. Namun, tak satupun
dapat kurangkai dengan baik. Bahkan untuk berkata ini pun, kugunakan beberapa
kalimat yang terpatah-patah yang mungkin kau juga kan tak dapat memahaminya.
Tapi begitulah diriku dan kau tau itu.
Mentariku...
Terima kasih akan kasih sayang tulus yang selalu kau
suguhkkan padaku. Terima kasih telah melayaniku bak seorang yang agung. Pelayananmu
padaku tanpa mengenal rasa kesal. Tanpa keluh kesah. Seperti seorang hamba yang
begitu setia melayani majikannya. Tapi aku bukan majikanmu. Aku pun juga tak
membayarmu. Dan kau tetap setia. Aku pun merasa bak seorang putri raja. Mungkin
kaulah raja itu.
Sungguh tak dapat kubendung air mataku. Mengingat semua
pengorbananmu. Bahkan seseorang sepertiku ini mulanya tak memahami bagaimana
kehidupan itu. Kini, ku dapat paham karenamu. Jikalau kuingat, begitu sadisnya
hidup ini. penuh dengan gejolak kebinasaan hati yang menuntun emosi dan amarah
serta dengki semakin jaya di depan. Menyelimuti seluruh warna putih. Dan
tinggallah hitam.
Tapi kau mengajari bagaimana melaluinya. Bagaimana menghadapinya.
Bagaimana menangkisnya. Hingga warna hitam kelam itu semakin pudar dan kembali
tampak titik-titik cahaya. Sabar! Begitulah ajaranmu. Namun terkadang, hanya
sebuah ikatan kata sabar saja tak mampu membuatku berdiri tegak. Kaki ini
begitu lemah untuk menampung segala duka. Sampai ku hanya dapat jalan meronta.
Dan kau sang mentari...menarik lenganku. Memegang pundakku dan membantuku untuk
bangkit. Selalu begitu.
Namun apalah dayaku. Terkadang pikiranku berhasil mengolah
kata ceroboh. Tak memperhatikan segala ucapanmu. Tak menghiraukan bagaimana
dirimu. Betapa egoisnya aku! hingga saat ku jauh darimu. Ku tetap hidup darimu.
Tapi ku lupa...lupa akan sang mentari yang begitu setia disampingku selama ini.
Bagaimana diriku ini. Bahkan hal kecilpun telah
terabaikan begitu saja. Sungguh kucoba untuk menyempurnakan diri. Namun, diri
ini tetap jauh dari kata sempurna. Wahai mentariku, dunia ini melelahkan.
Ijinkanlah aku tuk tetap tidur dalam pangkuanmu. Dalam sinar dan kehangatanmu.
Maafkan aku...
Maafkanlah diri yang
berlumur dengan lumpur dunia ini...
Maafkan diri ini yang penuh dengan muslihat. Dunia ini
menghujam begitu kerasnya. Bagaimana aku membangun dinding-dinding bentengku
jika ku tak punya keberanian. Wahai mentariku, maaf...jikalau ada sepetik
ataupun serangkaian kata-kata yang menyayat hatimu. Ku tak bermaksud untuk itu.
Katakan, wahai
mentari...
Katakanlah, sejuta duka di hatimu yang masih terbayang.
Ijinkan diriku ini mengenalnya sedikit lebih jauh. Agar ku dapat merasakan
betapa pedihnya. Beban pikiran apa yang memberatkan hatimu. Cobalah katakan,
apa yang kau ingin aku tuk lakukan. Jangan kau terlalu sibuk menyinariku. Aku
ini akan selalu memegang teguh ajaranmu. Sampaikan hasratmu. Agar ku dapat
menyenangkan hatimu.
Sinarmu selalu menjadi penerang jalanku. Jangan kau
gelapkan aku dengan kesedihanmu. Jangan kau gelapkan aku dengan air matamu. Ku
tak tau bagaimana cara ku tuk memetik buah berduri. Janganlah bersedih wahai
mentariku. Hatiku perih layak tertusuk jarum kecil nan tajam. Mengingat peranmu
ganda. Tak ada teman tuk bersua. Lalu bagaimana? Aku tak mampu menegakkan
kembali tiang sampan yang timbul tenggelam di lautan. Ijinkan aku beradu
pikiran denganmu. Agar ku mengerti bagaimana seharusnya aku.
Cukuplah tugasmu untuk tetap bersinar. Aku butuh senyuman
darimu. Sebuah senyuman darimu, akan mengisi seribu kekosongan jiwaku. Dengan
begitu aku akan bangkit dengan sendirinya. Mencoba untuk tetap tegak sebesar
apapun angin menerpa. Membalas senyumanmu lebar-lebar. Dengan ketulusan. Dengan
kasih sayang yang kau selalu berikan padaku. Hingga suatu nanti, kutemukan
cahaya lain. Sebuah sinar yang masih sangat terang. Mungkin dapat menandingi
sinarmu. Ku kan mengarah padanya dengan akhlakku. Sesuai ajaranmu. Hidupku kan
semakin terang. Karna ku punya dua sinar. Sinarmu dan sinarnya. Dan sinar itu
kan megubahku menjadi rembulan baru.
Sinar itu nanti pastinya adalah pilihanmu. Tentangnya,
aku tak begitu banyak bicara. Karna ku tau, kau pasti mengerti bagaimana
seharusnya dia. Aku hanya ingin satu sinar baru yang benar-benar membuatmu
bahagia. Hanya itu. Biar nanti kulukis sendiri pelangi cinta hari-hariku.
Berbalut kasih sayangku padamu. Kan ku tulis beribu-ribu bahkan
bermilyar-milyar cerita tentang kita. Namun, perjuanganku tuk buatmu bahagia
tak berhenti sampai disini, wahai mentariku. Aku kan terus dan terus didepan.
Bergantian memberimu sinar seterang mungkin. Burung camar saja tak pernah bosan
tuk berterbangan mengitari luasnya lautan. Ku juga takkan pernah bosan untuk
itu.
Aku mencintaimu, mentariku...
Sabtu, 28 Juni 2014 selesai ditulis pukul 20.16 WIB.