Senin, 02 Desember 2013

RINDU

Awal kita jumpa
penuh dengan perkataan
kita mencoba tuk saling paham
hingga akhirnya kita saling mengerti

Di tengah pertemuan
kita saling canda
kita saling cerita
semakin dekat
dan semakin dekat
hingga akhirnya kita saling mengenal

Kita berbicara tentang perpisahan
kita berduka
kita bersedih
hingga akhirnya tiada kata

Dikala waktu itu datang
kita terdiam...
kita membisu...
tiada kata lagi
hingga akhirnya kita menangis

Kita saling mengenang
kata maaf...
kata terima kasih...
dan kata perpisahan

"jangan lupakan kita, kita semua sayang"
"kita cinta..."
"kita butuh..."
"datang kesini lagi..."
"untuk kita..."

"takkan lupa, kita selalu sayang"
"kita selalu cinta..."
"kita selalu butuh..."
"dan kita pasti kembali..."
"untuk kita..."

Sekarang kita jauh
penuh tanya
apakah kau tau, apa yang kurasa?
cobalah tuk menjawab
walau hanya dalam angan-angan
Sungguh ku ingin tau

Sedih...
gundah...
rindu...
itu yang kurasa

ingin ku kembali
selalu ingin
disaat kita bersama
pasti takkan ada gundah
hanya ada senyuman

kita pasti kembali
menantikan senyuman itu
entah kapan
tapi kita pasti...

Hanya, tuk saat ini...
kenanglah kita
I do miss you

Minggu, 21 Juli 2013

Hujan Punya Cerita Tentang Kita by: Yoana Dianika

jatuh cinta kepadamu sangat menyenangkan,
seperti meringkuk dalam selimut hangat pada malam yang hujan.
seperti menemukan keping terakhir puzzle yang sedang kau susun.
cinta ini sudah berada tepat di tempat yang seharusnya,
di ruang hatimu dan hatimu.

namun, mengapa resah justru merajai kita?
padahal, katanya cinta sanggup menjaga.
aku ingin kau tahu,
diam-diam, aku selalu menitipkan harapan yang sama kedalam beribu-ribu rintik hujan:
aku ingin hari depanku selalu bersamamu.

aku mencintaimu. selalu.
dan, mereka tak perlu tau.

Jumat, 05 Juli 2013

3


Berkali-kali ibu memintaku untuk pulang, aku tetap menolak, tetap pada pendirianku. Akhirnya ia pulang, aku tau bahwa ibu mengerti perasaanku. Aku berdiri didepan pintu, melihat ibu pergi. Saat kubalikkan badanku kulihat Lina berdiri disudut ruang tamu, sambil tersenyum padaku, aku menghapus air mataku dan tersenyum padanya.
          Keesokan harinya, aku menemani Lina mencari pekerjaan, kami menelusuri sepanjang trotoar, udara panas, kendaraan lalu lalang di pinggir jalan, rasanya  dadaku sesak. Lalu lalang angkutan umum menimbulkan asap-asap yang menggepul di udara, sambil terdengar suara seorang kernet angkot yang berteriak-teriak tak karuan.
          Hari sudah mulai sore, tak terasa seharian aku dan Lina berjalan disepanjang trotoar ditemani dengan terik sinar matahari yang menyengat. Akhirnya kami putuskan untuk pulang ke rumah.
          Sesampainya di rumah, aku mendapat telfon dari ibu, bahwa kakek sakit, penyakit jantungnya kambuh lagi. Aku kaget, tubuhku menjadi kaku, handphone ber-merk Blueberry berwarna silver bervariasi gambar angry bird yang ku tempelkan di bagian belakangnya jatuh di lantai, bagian-bagiannya pun terpisah. Tak peduli akan itu, aku segera mengambil motor dan pergi ke rumah, yang sebelumnya aku sudah berjanji tidak akan kembali.
          Sesampainya di sana, aku berhenti di depan gerbang, seseorang menyapaku…
“Non Alice? Silahkan masuk Non!”.
Dia satpam penjaga rumah ini. Aku hanya menganggukkan kepalaku, dan masuk ke dalam. Suasananya tak jauh beda dari 2 bulan yang lalu, saat aku meninggalkan rumah. Kulihat sesosok gadis berambut panjang, memakai setelan motif batik modern warna biru berhiaskan warna abu-abu, ia berjalan kearahku. Dengan mata yang tampak berkaca-kaca melihatku, ia memelukku. Dia Santi, anak paman.
          Aku masuk ke dalam rumah bersamanya, Santi membawaku ke dalam kamar. Kraggh… Pintu terbuka, terlihat banyak orang di dalam sana, pamanku, bibiku, ibu, ayah, nenek yang duduk di kursi roda, dan kakek yang terbaring lemas di atas ranjang dengan sprei bermotif bunga, berwarna hijau, kesukaannya. Semua mata tertuju padaku. Ibu segera memelukku dan membawaku mendekat.
“Anak tidak tau diri! Pergi dari rumah tidak memikirkan keluarga, inilah akibatnya, lihat kakekmu, mulai saat ini, kamu tidak boleh pergi kemana-mana”. Bentak nenek padaku, tanpa menatap wajahku.
          Semua tampak sunyi, tak ada satupun yang bicara, ibu hanya bisa memelukku, mencoba menenangkanku. Aku ingin membantah perkataan nenek. Tapi tidak, dia nenekku, orang yang harus aku hormati. Tanpa berkata apa-apa, aku melepas pelukan ibu dan berlari menuju kamarku. Aku telungkup di tempat tidurku. Ku peluk bantal erat-erat. Tapi semua itu tak akan bisa mengurangi kesunyian yang kurasakan. Air mataku mengalir tiada henti, mataku tampak membengkak, kelopak mataku dipenuhi air mata yang mulai jatuh membasahi pipiku.
          Semua kejadian yang kualami hari ini sungguh menyakitkan dan membuat kepalaku sakit. Salahkah aku bila ingin menentukan hidup sendiri tanpa mereka? Haruskah aku menyerah?. Ya Tuhan, aku mohon dengan kesungguhan hati, berikan yang terbaik untukku dan semua keluargaku. Aku lelah dengan semua ini, aku ingin tertidur untuk selamanya.

2


Namaku Alice, aku seorang mahasiswi, kadang aku sering  tidak masuk kuliah, jam-jam kuliah kuhabiskan dengan menulis karya-karyaku, apa yang bisa aku perbuat? Aku tidak suka dengan jurusan yang mereka pilihkan untukku, itu tak cocok denganku, dengan keahlianku. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti kuliah, dan menghabiskan waktuku dengan menulis sebuah karangan.
          Pagi ini cerah, aku lari pagi bersama teman kos sekamarku, namanya Lina. Di taman kami berhenti sejenak. Disekitar taman kulihat ada seorang pedagang buah, serta segerombolan anak yang ditemani ibu mereka masing-masing, berolah raga bersama, aku jadi ingat dulu, dulu saat aku juara di kelas 1 SMP, mereka semua bangga denganku, mereka tak pernah memojokkanku, hingga akhirnya prestasiku menurun, saat suatu kejadian menimpaku. Kejadian yang tak terlupakan, kepergian Kak Rizan, dia adalah Kakakku, dia yang menyemangatiku. Kak Rizan mengalami kecelakaan dan meninggal, saat kepergiannya, aku hanya terpuruk dikamar, sepi, sunyi, yang kulakukan hanya memandangi fotonya, foto yang berwarna hitam putih, foto yang sudah kusam dan berdebu. Debu itu perlahan-lahan menghapus wajahnya, hingga tak tampak seperti aslinya, seperti bukan wajahnya. Tapi aku tetap menyimpan foto yang sudah kusam itu hingga saat ini.
          Tak terasa sudah lama aku di taman, akhirnya kuputuskan untuk pulang ke rumah kos. Sesampainya di rumah kos, aku menuju kekamarku dan beristirahat, kuambil Handphone yang ada disampingku dan memesan makanan, habis lari pagi perutku terasa lapar, celengan yang kubawa isinya pun tak begitu banyak, jadi aku akan berhemat.
          Tak lama setelah aku memesan makanan, seseorang mengetuk pintu, ternyata Bu Mina, Ibu pemilik rumah kos ini, katanya ada yang ingin bertemu denganku, pasti itu tukang pengantar makanan yang aku pesan tadi, aku menemuinya, terlihat sosok perempuan separuh baya, yang tak asing bagiku berdiri menghadap keluar, dia menoleh ke arahku. Dan….
“Alice..?” ucap orang itu.
Perasaanku campur aduk, dia bukan tukang pengantar makanan itu, dia ibuku, darimana ia bisa tau kalau aku tinggal disini, aku senang bercampur luka, aku ingat saat dia membiarkan ayah membakar karya tulisku, meskipun begitu aku tetap rindu padanya kupeluknya dengan erat, rasa rindu yang kupendam selama berbulan-bulan lamanya.
          Ibu datang untuk mengajakku pulang ke rumah.
“pulanglah kerumah Alice, semua mencemaskanmu.” Katanya.
“tapi, aku tidak bisa Bu”, jawabku sambil memalingkan wajahku.
“kenapa? Kenapa tidak, ibu rindu padamu, sudah 2 bulan kau meninggalkan ibu di rumah, bahkan selama itu kau tak pernah memberitau ibu dimana keberadaanmu, semua pasti sangat senang jika kamu pulang kerumah.” Sahut ibu.
Tak sepatah katapun keluar dari mulutku, ibu menangis didepanku, sama seperti saat aku pergi, pergi meninggalkan rumah, aku tak sanggup melihat ibu menangis memohon padaku agar aku kembali. Tapi aku tidak bisa berkumpul lagi dengan ayah dan mereka yang egois, dan juga nenek yang selalu membandingkan aku dengan Santi, anak paman. Hanya karena Santi menuruti kata-katanya, aku tau Santi juga terpaksa mengikuti keinginan nenek, tapi ia berbeda denganku, Santi seperti boneka yang bisa dipermainkan, yang hidupnya digantungkan pada orang lain, tapi aku tidak!! aku berani menentang nenek, aku juga akan menuruti kata-kata nenek, tapi bukan tentang cita-cita atau pekerjaan, aku ingin menjadi apa yang aku mau, aku tidak bisa berkumpul dengan mereka.
“Alice, kamu tidak mau bertemu dengan kakek? Beberapa hari ini kakekmu sakit karena memikirkanmu”, katanya.
Ibu menangis sambil menatapku, matanya tampak sembab, Butiran air mata serasa menghapus bedak dan lipsticknya. Aku menahan air mataku agar tak keluar. Tapi air mataku tetap keluar membasahi pipiku.
“aku tidak mau pulang Bu, aku tidak mau!” aku mengucapkannya dengan lantang, air mataku menetes semakin deras, aku tak sanggup lagi menahannya.
”aku tak mau terpojokkan lagi, aku tak mau dibeda-bedakan lagi, aku akan tetap pada pendirianku Bu, aku sudah besar, aku ingin menentukan hidupku sendiri,”. Lanjutku.

1

By: UCI FADILAH ABZAH

Cita-cita yang aku impikan dari dulu adalah menjadi seorang penulis, penulis yang semua karya-karyanya disukai oleh masyarakat, membawa pengaruh positif, dan membuat semua para pembacanya percaya diri, tapi entah apakah aku bisa. Semua keluargaku tidak mendukungku menjadi penulis. Ayahku, ibuku, paman, bibi, dan nenek, bahkan sepupu-sepupuku, mereka bilang bahwa menjadi seorang penulis tidak menjamin kehidupan. Mereka tidak tau maksudku, mereka hanya mementingkan derajad dan harta, karena ayahku seorang pengusaha, dan ibuku pemilik butik terkenal, bukan berarti aku harus menjadi seperti mereka, apa gunanya gelar, jika kita tidak menginginkannya? Aku berusaha mengerti kemauan mereka, tapi tidak bisa. Aku tidak bisa menghentikan hobiku menulis sebuah karangan, itu yang menyebabkan aku kabur dari rumah, aku meninggalkan mereka, aku ingin jauh dari mereka, meskipun aku tau mereka cemas padaku. Tapi kurasa inilah yang terbaik, aku tidak sanggup lagi hidup serumah dengan mereka, aku tertekan. Tapi aku sedih harus meninggalkan kakek, dialah satu-satunya orang yang tak pernah melarangku. Orang yang selalu membelaku saat aku terpojokkan.

Senin, 18 Maret 2013

sepenggal cerita



Pagi itu, Anna berkemas-kemas. Mengumpulkan barang-barangnya dan dimasukkan dalam tas.
“An? Pokonya kamu harus selalu kasi kabar ke aku lho!”, kata Devi yang membantu memasukkan buku-buku Anna. Anna hanya tersenyum.
“kalo liburan nanti, kamu harus main kerumahku”, kata Himah.
“iya, iya...kalian tenang aja. kita kan sodara”, jawab Anna. Mereka berpelukan.
Selesai mengemasi barang-barangnya, Anna mulai meninggalkan kamarnya. Menjinjing sebuah tas dan yang lainnya dibawakan oleh Devi dan Himah. Di depan asrama, Anna melihat Umi yang sedang berbincang-bincang bersama ustadzah Mardiana dan ustadz Hilmi. Anna merasa senang. Mereka terlihat akrab. Kawan-kawan santri juga berkumpul mengantar Anna. Ummi adalah kawan Anna yang paling cengeng. Dia menangis. Anna hanya tersenyum menahan air mata. Dan juga tersenyum karena ustadz Hilmi. Sedangkan Arif, hanya memperhatikannya dari jarak yang lumayan jauh. Dia hanya sendiri. Bersandar dibalik dinding.
Anna melihat orangtuanya tersenyum lebar kepadanya. Anna begitu lega. Anna segera mencium tangan ustadzah Mardiana dan mengangguk pelan pada ustadz Hilmi. Begitu juga sebaliknya. Sebuah mobil sedan tua sudah parkir didepan asrama. ayah Anna telah menunggu di dalamnya. Anna duduk di belakang. Dan akhirnya.......pergi.