jatuh cinta kepadamu sangat menyenangkan,
seperti meringkuk dalam selimut hangat pada malam yang hujan.
seperti menemukan keping terakhir puzzle yang sedang kau susun.
cinta ini sudah berada tepat di tempat yang seharusnya,
di ruang hatimu dan hatimu.
namun, mengapa resah justru merajai kita?
padahal, katanya cinta sanggup menjaga.
aku ingin kau tahu,
diam-diam, aku selalu menitipkan harapan yang sama kedalam beribu-ribu rintik hujan:
aku ingin hari depanku selalu bersamamu.
aku mencintaimu. selalu.
dan, mereka tak perlu tau.
Minggu, 21 Juli 2013
Jumat, 05 Juli 2013
3
Berkali-kali ibu memintaku untuk pulang, aku tetap
menolak, tetap pada pendirianku. Akhirnya ia pulang, aku tau bahwa ibu mengerti
perasaanku. Aku berdiri didepan pintu, melihat ibu pergi. Saat kubalikkan
badanku kulihat Lina berdiri disudut ruang tamu, sambil tersenyum padaku, aku
menghapus air mataku dan tersenyum padanya.
Keesokan
harinya, aku menemani Lina mencari pekerjaan, kami menelusuri sepanjang
trotoar, udara panas, kendaraan lalu lalang di pinggir jalan, rasanya dadaku sesak. Lalu lalang angkutan umum
menimbulkan asap-asap yang menggepul di udara, sambil terdengar suara seorang
kernet angkot yang berteriak-teriak tak karuan.
Hari sudah
mulai sore, tak terasa seharian aku dan Lina berjalan disepanjang trotoar
ditemani dengan terik sinar matahari yang menyengat. Akhirnya kami putuskan untuk
pulang ke rumah.
Sesampainya
di rumah, aku mendapat telfon dari ibu, bahwa kakek sakit, penyakit jantungnya
kambuh lagi. Aku kaget, tubuhku menjadi kaku, handphone ber-merk Blueberry berwarna
silver bervariasi gambar angry bird yang ku tempelkan di bagian belakangnya jatuh
di lantai, bagian-bagiannya pun terpisah. Tak peduli akan itu, aku segera
mengambil motor dan pergi ke rumah, yang sebelumnya aku sudah berjanji tidak
akan kembali.
Sesampainya
di sana, aku berhenti di depan gerbang, seseorang menyapaku…
“Non Alice? Silahkan masuk Non!”.
Dia satpam penjaga rumah ini. Aku hanya menganggukkan
kepalaku, dan masuk ke dalam. Suasananya tak jauh beda dari 2 bulan yang lalu,
saat aku meninggalkan rumah. Kulihat sesosok gadis berambut panjang, memakai
setelan motif batik modern warna biru berhiaskan warna abu-abu, ia berjalan
kearahku. Dengan mata yang tampak berkaca-kaca melihatku, ia memelukku. Dia
Santi, anak paman.
Aku masuk
ke dalam rumah bersamanya, Santi membawaku ke dalam kamar. Kraggh… Pintu
terbuka, terlihat banyak orang di dalam sana, pamanku, bibiku, ibu, ayah, nenek
yang duduk di kursi roda, dan kakek yang terbaring lemas di atas ranjang dengan
sprei bermotif bunga, berwarna hijau, kesukaannya. Semua mata tertuju padaku.
Ibu segera memelukku dan membawaku mendekat.
“Anak tidak tau diri! Pergi dari rumah tidak memikirkan
keluarga, inilah akibatnya, lihat kakekmu, mulai saat ini, kamu tidak boleh
pergi kemana-mana”. Bentak nenek padaku, tanpa menatap wajahku.
Semua
tampak sunyi, tak ada satupun yang bicara, ibu hanya bisa memelukku, mencoba
menenangkanku. Aku ingin membantah perkataan nenek. Tapi tidak, dia nenekku, orang
yang harus aku hormati. Tanpa berkata apa-apa, aku melepas pelukan ibu dan
berlari menuju kamarku. Aku telungkup di tempat tidurku. Ku peluk bantal
erat-erat. Tapi semua itu tak akan bisa mengurangi kesunyian yang kurasakan.
Air mataku mengalir tiada henti, mataku tampak membengkak, kelopak mataku
dipenuhi air mata yang mulai jatuh membasahi pipiku.
Semua
kejadian yang kualami hari ini sungguh menyakitkan dan membuat kepalaku sakit.
Salahkah aku bila ingin menentukan hidup sendiri tanpa mereka? Haruskah aku menyerah?.
Ya Tuhan, aku mohon dengan kesungguhan hati, berikan yang terbaik untukku dan
semua keluargaku. Aku lelah dengan semua ini, aku ingin tertidur untuk
selamanya.
2
Namaku Alice, aku seorang mahasiswi, kadang aku
sering tidak masuk kuliah, jam-jam
kuliah kuhabiskan dengan menulis karya-karyaku, apa yang bisa aku perbuat? Aku
tidak suka dengan jurusan yang mereka pilihkan untukku, itu tak cocok denganku,
dengan keahlianku. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti kuliah, dan menghabiskan
waktuku dengan menulis sebuah karangan.
Pagi ini
cerah, aku lari pagi bersama teman kos sekamarku, namanya Lina. Di taman kami
berhenti sejenak. Disekitar taman kulihat ada seorang pedagang buah, serta segerombolan
anak yang ditemani ibu mereka masing-masing, berolah raga bersama, aku jadi
ingat dulu, dulu saat aku juara di kelas 1 SMP, mereka semua bangga denganku, mereka
tak pernah memojokkanku, hingga akhirnya prestasiku menurun, saat suatu
kejadian menimpaku. Kejadian yang tak terlupakan, kepergian Kak Rizan, dia
adalah Kakakku, dia yang menyemangatiku. Kak Rizan mengalami kecelakaan dan
meninggal, saat kepergiannya, aku hanya terpuruk dikamar, sepi, sunyi, yang
kulakukan hanya memandangi fotonya, foto yang berwarna hitam putih, foto yang
sudah kusam dan berdebu. Debu itu perlahan-lahan menghapus wajahnya, hingga tak
tampak seperti aslinya, seperti bukan wajahnya. Tapi aku tetap menyimpan foto
yang sudah kusam itu hingga saat ini.
Tak terasa
sudah lama aku di taman, akhirnya kuputuskan untuk pulang ke rumah kos. Sesampainya
di rumah kos, aku menuju kekamarku dan beristirahat, kuambil Handphone yang ada
disampingku dan memesan makanan, habis lari pagi perutku terasa lapar, celengan
yang kubawa isinya pun tak begitu banyak, jadi aku akan berhemat.
Tak lama
setelah aku memesan makanan, seseorang mengetuk pintu, ternyata Bu Mina, Ibu
pemilik rumah kos ini, katanya ada yang ingin bertemu denganku, pasti itu
tukang pengantar makanan yang aku pesan tadi, aku menemuinya, terlihat sosok
perempuan separuh baya, yang tak asing bagiku berdiri menghadap keluar, dia
menoleh ke arahku. Dan….
“Alice..?” ucap orang itu.
Perasaanku campur aduk, dia bukan tukang pengantar
makanan itu, dia ibuku, darimana ia bisa tau kalau aku tinggal disini, aku
senang bercampur luka, aku ingat saat dia membiarkan ayah membakar karya
tulisku, meskipun begitu aku tetap rindu padanya kupeluknya dengan erat, rasa
rindu yang kupendam selama berbulan-bulan lamanya.
Ibu
datang untuk mengajakku pulang ke rumah.
“pulanglah kerumah Alice, semua mencemaskanmu.” Katanya.
“tapi, aku tidak bisa Bu”, jawabku sambil
memalingkan wajahku.
“kenapa? Kenapa tidak, ibu rindu padamu, sudah 2
bulan kau meninggalkan ibu di rumah, bahkan selama itu kau tak pernah memberitau
ibu dimana keberadaanmu, semua pasti sangat senang jika kamu pulang kerumah.” Sahut
ibu.
Tak sepatah katapun keluar dari mulutku, ibu
menangis didepanku, sama seperti saat aku pergi, pergi meninggalkan rumah, aku
tak sanggup melihat ibu menangis memohon padaku agar aku kembali. Tapi aku tidak
bisa berkumpul lagi dengan ayah dan mereka yang egois, dan juga nenek yang
selalu membandingkan aku dengan Santi, anak paman. Hanya karena Santi
menuruti kata-katanya, aku tau Santi juga terpaksa mengikuti keinginan nenek,
tapi ia berbeda denganku, Santi seperti boneka yang bisa dipermainkan, yang
hidupnya digantungkan pada orang lain, tapi aku tidak!! aku berani menentang nenek,
aku juga akan menuruti kata-kata nenek, tapi bukan tentang cita-cita atau
pekerjaan, aku ingin menjadi apa yang aku mau, aku tidak bisa berkumpul dengan
mereka.
“Alice, kamu tidak mau bertemu dengan kakek? Beberapa
hari ini kakekmu sakit karena memikirkanmu”, katanya.
Ibu menangis sambil menatapku, matanya tampak sembab,
Butiran air mata serasa menghapus bedak dan lipsticknya. Aku menahan air mataku
agar tak keluar. Tapi air mataku tetap keluar membasahi pipiku.
“aku tidak mau pulang Bu, aku tidak mau!” aku
mengucapkannya dengan lantang, air mataku menetes semakin deras, aku tak
sanggup lagi menahannya.
”aku tak mau terpojokkan lagi, aku tak mau dibeda-bedakan
lagi, aku akan tetap pada pendirianku Bu, aku sudah besar, aku ingin menentukan
hidupku sendiri,”. Lanjutku.
1
By: UCI FADILAH ABZAH
Cita-cita yang aku impikan dari dulu adalah menjadi seorang penulis, penulis yang semua karya-karyanya disukai oleh masyarakat, membawa pengaruh positif, dan membuat semua para pembacanya percaya diri, tapi entah apakah aku bisa. Semua keluargaku tidak mendukungku menjadi penulis. Ayahku, ibuku, paman, bibi, dan nenek, bahkan sepupu-sepupuku, mereka bilang bahwa menjadi seorang penulis tidak menjamin kehidupan. Mereka tidak tau maksudku, mereka hanya mementingkan derajad dan harta, karena ayahku seorang pengusaha, dan ibuku pemilik butik terkenal, bukan berarti aku harus menjadi seperti mereka, apa gunanya gelar, jika kita tidak menginginkannya? Aku berusaha mengerti kemauan mereka, tapi tidak bisa. Aku tidak bisa menghentikan hobiku menulis sebuah karangan, itu yang menyebabkan aku kabur dari rumah, aku meninggalkan mereka, aku ingin jauh dari mereka, meskipun aku tau mereka cemas padaku. Tapi kurasa inilah yang terbaik, aku tidak sanggup lagi hidup serumah dengan mereka, aku tertekan. Tapi aku sedih harus meninggalkan kakek, dialah satu-satunya orang yang tak pernah melarangku. Orang yang selalu membelaku saat aku terpojokkan.
Cita-cita yang aku impikan dari dulu adalah menjadi seorang penulis, penulis yang semua karya-karyanya disukai oleh masyarakat, membawa pengaruh positif, dan membuat semua para pembacanya percaya diri, tapi entah apakah aku bisa. Semua keluargaku tidak mendukungku menjadi penulis. Ayahku, ibuku, paman, bibi, dan nenek, bahkan sepupu-sepupuku, mereka bilang bahwa menjadi seorang penulis tidak menjamin kehidupan. Mereka tidak tau maksudku, mereka hanya mementingkan derajad dan harta, karena ayahku seorang pengusaha, dan ibuku pemilik butik terkenal, bukan berarti aku harus menjadi seperti mereka, apa gunanya gelar, jika kita tidak menginginkannya? Aku berusaha mengerti kemauan mereka, tapi tidak bisa. Aku tidak bisa menghentikan hobiku menulis sebuah karangan, itu yang menyebabkan aku kabur dari rumah, aku meninggalkan mereka, aku ingin jauh dari mereka, meskipun aku tau mereka cemas padaku. Tapi kurasa inilah yang terbaik, aku tidak sanggup lagi hidup serumah dengan mereka, aku tertekan. Tapi aku sedih harus meninggalkan kakek, dialah satu-satunya orang yang tak pernah melarangku. Orang yang selalu membelaku saat aku terpojokkan.
Langganan:
Postingan (Atom)