Namaku Alice, aku seorang mahasiswi, kadang aku
sering tidak masuk kuliah, jam-jam
kuliah kuhabiskan dengan menulis karya-karyaku, apa yang bisa aku perbuat? Aku
tidak suka dengan jurusan yang mereka pilihkan untukku, itu tak cocok denganku,
dengan keahlianku. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti kuliah, dan menghabiskan
waktuku dengan menulis sebuah karangan.
Pagi ini
cerah, aku lari pagi bersama teman kos sekamarku, namanya Lina. Di taman kami
berhenti sejenak. Disekitar taman kulihat ada seorang pedagang buah, serta segerombolan
anak yang ditemani ibu mereka masing-masing, berolah raga bersama, aku jadi
ingat dulu, dulu saat aku juara di kelas 1 SMP, mereka semua bangga denganku, mereka
tak pernah memojokkanku, hingga akhirnya prestasiku menurun, saat suatu
kejadian menimpaku. Kejadian yang tak terlupakan, kepergian Kak Rizan, dia
adalah Kakakku, dia yang menyemangatiku. Kak Rizan mengalami kecelakaan dan
meninggal, saat kepergiannya, aku hanya terpuruk dikamar, sepi, sunyi, yang
kulakukan hanya memandangi fotonya, foto yang berwarna hitam putih, foto yang
sudah kusam dan berdebu. Debu itu perlahan-lahan menghapus wajahnya, hingga tak
tampak seperti aslinya, seperti bukan wajahnya. Tapi aku tetap menyimpan foto
yang sudah kusam itu hingga saat ini.
Tak terasa
sudah lama aku di taman, akhirnya kuputuskan untuk pulang ke rumah kos. Sesampainya
di rumah kos, aku menuju kekamarku dan beristirahat, kuambil Handphone yang ada
disampingku dan memesan makanan, habis lari pagi perutku terasa lapar, celengan
yang kubawa isinya pun tak begitu banyak, jadi aku akan berhemat.
Tak lama
setelah aku memesan makanan, seseorang mengetuk pintu, ternyata Bu Mina, Ibu
pemilik rumah kos ini, katanya ada yang ingin bertemu denganku, pasti itu
tukang pengantar makanan yang aku pesan tadi, aku menemuinya, terlihat sosok
perempuan separuh baya, yang tak asing bagiku berdiri menghadap keluar, dia
menoleh ke arahku. Dan….
“Alice..?” ucap orang itu.
Perasaanku campur aduk, dia bukan tukang pengantar
makanan itu, dia ibuku, darimana ia bisa tau kalau aku tinggal disini, aku
senang bercampur luka, aku ingat saat dia membiarkan ayah membakar karya
tulisku, meskipun begitu aku tetap rindu padanya kupeluknya dengan erat, rasa
rindu yang kupendam selama berbulan-bulan lamanya.
Ibu
datang untuk mengajakku pulang ke rumah.
“pulanglah kerumah Alice, semua mencemaskanmu.” Katanya.
“tapi, aku tidak bisa Bu”, jawabku sambil
memalingkan wajahku.
“kenapa? Kenapa tidak, ibu rindu padamu, sudah 2
bulan kau meninggalkan ibu di rumah, bahkan selama itu kau tak pernah memberitau
ibu dimana keberadaanmu, semua pasti sangat senang jika kamu pulang kerumah.” Sahut
ibu.
Tak sepatah katapun keluar dari mulutku, ibu
menangis didepanku, sama seperti saat aku pergi, pergi meninggalkan rumah, aku
tak sanggup melihat ibu menangis memohon padaku agar aku kembali. Tapi aku tidak
bisa berkumpul lagi dengan ayah dan mereka yang egois, dan juga nenek yang
selalu membandingkan aku dengan Santi, anak paman. Hanya karena Santi
menuruti kata-katanya, aku tau Santi juga terpaksa mengikuti keinginan nenek,
tapi ia berbeda denganku, Santi seperti boneka yang bisa dipermainkan, yang
hidupnya digantungkan pada orang lain, tapi aku tidak!! aku berani menentang nenek,
aku juga akan menuruti kata-kata nenek, tapi bukan tentang cita-cita atau
pekerjaan, aku ingin menjadi apa yang aku mau, aku tidak bisa berkumpul dengan
mereka.
“Alice, kamu tidak mau bertemu dengan kakek? Beberapa
hari ini kakekmu sakit karena memikirkanmu”, katanya.
Ibu menangis sambil menatapku, matanya tampak sembab,
Butiran air mata serasa menghapus bedak dan lipsticknya. Aku menahan air mataku
agar tak keluar. Tapi air mataku tetap keluar membasahi pipiku.
“aku tidak mau pulang Bu, aku tidak mau!” aku
mengucapkannya dengan lantang, air mataku menetes semakin deras, aku tak
sanggup lagi menahannya.
”aku tak mau terpojokkan lagi, aku tak mau dibeda-bedakan
lagi, aku akan tetap pada pendirianku Bu, aku sudah besar, aku ingin menentukan
hidupku sendiri,”. Lanjutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar